Tentang Dea (Cerpen)


Terinspirasi dari kisah seorang teman, tapi malah jadi jauh begini, hehehe… Maaf ya ^^ *peace*

 

Tentang Dea

Oleh Imah_HyunAe

©Imah_HyunAe 2011©

 

Kenangan, adalah masa lalu yang selalu diingat. Lalu… apakah aku masih berani menyebutkan peristiwa pahit itu dan masih samar terkurung diingatanku sebagai kenangan? Aku tak berani mengiyakannya.

Kutatap rumah besar nan mewah di depanku. Rumah yang sejak sepuluh tahun lalu kutinggalkan. Rumah yang sudah menganggapku bukan lagi bagian di dalamnya karena aku sudah menghancurkan kepercayaan dan kebanggaan pemiliknya, papaku.

Aku menelan ludah. Mencoba atasi kegugupanku yang menjadi. Juga mengatasi dengingan yang menghujam telingaku.

“Memalukan! Bagaimana bisa kau melakukannya? Apa kau tidak punya mata?? Lelaki berperangai buruk seperti itu kau suka! Bahkan membiarkannya menghamilimu!!!”

Bayangan papa yang berteriak murka ketika mengetahui aku hamil menghujani benakku. Membuatku meremas ujung bajuku tanpa sadar.

“Dia bahkan sudah menghamili perempuan lain!!! Orang biasa seperti itu???”

Bayangan wajah murka papa kembali hadir.

“Tapi dia ayah anak ini, Pa!”

Sosokku yang membantahnya sebelas tahun lalu juga hadir.

Plak!!!

Papa menamparku. “Kau ingin dia bertanggung jawab dan membuat seluruh dunia tahu kalau putri kebanggaanku hamil diluar nikah dengan lelaki sepertinya.” Papa menggeleng keras. “Tidak! Kau pilih gugurkan, atau melahirkannya tapi pergi dari rumah ini!”

“Pa!!” aku menjerit dengan air mata berurai.

“Mulai hari ini kau bukan anakku lagi!” desis Papa dingin dan meninggalkanku yang tergugu hebat.

“Kenapa kau mengecewakan kami, Nak?” suara Mama terdengar dingin dan menghujam.

Aku ingat hari itu aku menangis berjam-jam. Setelah agak tenang, aku meminta supir mengantarkanku ke rumah Padli, lelaki yang menjadi cinta pertamaku dan membuatku kehilangan mahkota berhargaku. Dia harus bertanggung jawab.

Tapi apa yang kutemukan?

Saat aku tiba di rumahnya, aku justru melihat dirinya sedang menikah dengan perempuan yang tengah 5 bulan. Aku mendengar dari tetangga di sekitar rumahnya tentang hal itu.

Hari itu aku benar-benar hancur. Bukan saja kehilangan tatapan sayang dari orang tuaku, aku juga kehilangan orang yang kucintai, juga kehormatanku.

Kenapa aku begitu bodoh? Jatuh cinta pada lelaki seperti dia! Lelaki yang menggantungkan hidupnya pada narkoba, alkohol, dan… seks!

Air mataku menitik deras lagi kala itu. Kalau aku membiarkan nyawa yang baru berumur satu bulan di tubuhku ini hidup dan kulahirkan tanpa ayahnya, aku akan benar-benar remuk tak berbentuk. Bukan saja orang tuaku semakin malu, tapi juga diriku dan masa depanku.

Aku berniat menggugurkannya. Tapi kuurungkan ketika tahu prosesnya yang tak sengaja kulihat di youtube. Mengerikan!

Dengan terpaksa, aku menghilang dari kehidupan sekolah, keluarga, dan kota Jakarta. Papa dan Mama mengatakan pada teman-teman dan keluargaku bahwa aku dipindahsekolahkan keluar negeri. Padahal aku membesarkan kandunganku dengan kebencian yang menumpuk di sebuah desa yang terpencil.

“Lihat, Non. Putri Non cantik sekali,” kata Bi Nah sepuluh tahun lalu usai persalinanku sambil memperlihatkan bayi mungil yang baru kulahirkan. Bi Nah adalah pembantu keluarga kami yang diminta mama menjagaku selama aku hamil di desa terpencil yang jauh dari Jakarta itu.

“Buang dia!” kataku dingin tanpa melihat rupa bayi itu.

“Tapi, Non..”

“Kubilang BUANG!!!” teriakku. “Aku tak mau melihatnya!!!” pekikku.

Masih teringat jelas di benakku, Bi Nah tak membuangnya. Ia masih berkeras agar aku melihat bayi itu. Katanya aku pasti akan menyukainya seperti dia. Aku masih kokoh menolak. Sampai kepergianku ke Australia untuk melanjutkan sekolahku yang tertunda pun aku tetap tak mau melihatnya.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Baru hari ini aku berani kembali ke Jakarta. Dan berharap bisa melihat bayi itu. Ah… pasti dia sudah besar sekarang.

“Ketika kau jatuh cinta dan menikah, kau akan tahu kegelisahan yang kurasakan, Dear.” Kata sahabatku Marri yang berasal dari Yogya. Aku mengenalnya saat kami sama-sama kuliah di Sydney. Dia memprotesku yang mengeluh bosan mendengar ceritanya yang belum hamil-hamil padahal sudah 3 tahun menikah.

“Bayi adalah kado terindah dalam sebuah pernikahan,” terangnya. “Kado yang paling dinantikan. Dan pertumbuhannya menjadi rentetan kado terindah lainnya. Kau akan ingat bagaimana dia menangis, bagaimana bahagiannya dirimu ketika dia memanggilmu ‘mama’ untuk pertama kali, bagaimana dia berjalan, dan bagaimana kehadirannya membuatmu semakin kompak dengan suamimu.”

Aku ingat bagaimana cerahnya wajah Marri ketika ia membayangkannya. Membuat hariku jadi tak tenang. Selalu terbayang dengan bayi yang kubuang bertahun-tahun lalu. Sebesar apa dia sekarang? Hidup dengan baik kah? Siapa yang jadi ibunya? Adakah yang menenangkannya ketika ia menangis?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membawaku kembali ke sini. Terlebih aku tahu dengan pasti aku trauma untuk jatuh cinta. Dan siapa yang bersedia menikahiku kalau tahu aku sudah punya anak diusiaku yang baru 17 tahun dan membuangnya dengan tega?

“Non Lia?” sebuah suara menegurku.

Aku mengalihkan perhatianku pada pemilik suara tersebut. Terlihat seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan memandangku penuh haru. Wanita yang tahu kejadian sebelas tahun lalu. Kejadian di mana Papa menamparku. Yah, semua yang tahu di rumah ini dipaksa tutup mulut.

“Mbak Lastri?” sahutku.

“Non pulang!!” jeritnya senang. “Woaahhh… kenapa Nyonya tidak bilang kalau Non pulang hari ini?”

Aku tersenyum lembut padanya dan memeluknya sekilas.

“Ayo, Non, masuk!” katanya sambil mengambil koperku.

Aku terdiam sesaat. Masih ada hak kah aku masuk ke rumah ini?

“Bi Nah…” suaraku tercekat. “Apa dia ada?” tanyaku tertahan.

Mbak Lastri memandangiku, lalu menggeleng. “Bi Nah sudah berhenti kerja sepuluh tahun lalu, Non,” ujernya membuatku memandangnya penuh tanya.

“Dia tidak tega membuang bayi Non dan itu membuat nyonya marah dan mengusirnya,” jelasnya.

Napasku mendadak sesak. “Lalu… apa Mbak tahu Bi Nah di mana sekarang?”

Mbak Lastri memandangku sesaat. Lalu mengangguk lambat. “Beberapa bulan lalu Bi Nah kemari. Meminta Nyonya memberikan foto Non karena Nona kecil begitu ingin melihat wajah ibunya. Kata Bi Nah dia berdoa terus setiap hari selama dua tahunan ini untuk bertemu dan melihat wajah ibunya di mimpinya. Tapi Nyonya memarahi dan mengusirnya. Katanya sampai kapan pun Nyonya tak akan mengakui kalau itu bayi Non, cucunya. Dia lalu memberikan alamatnya pada saya dan meminta saya mengambil foto Non untuk dikirim ke alamatnya. Tapi… sampai hari ini saya tidak berani. Takut ketahuan Nyonya.”

“Bisa… Mbak Lastri memberikan alamatnya?” tanyaku dengan tatapan memohon.

“Non…” lirihnya.

“Aku…” air mataku merebak. “Aku ingin melihat putriku…” jujurku dengan suara serak menahan tangis.

Mbak Lastri memandangiku sesaat sebelum akhirnya mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian dia datang dengan secarik kertas dan menyerahkannya padaku.

“Tolong, jangan katakan apapun tentang kepulanganku pada Mama. Juga ke mana aku.” Pintaku. Mbak Lastri mengangguk.

“Semoga ketemu, Non,” katanya. Aku mengangguk. Kugenggang kertas bertuliskan alamat Bi Nah dengan dada berdebur hebat.

***

Setelah berjam-jam melewati perjalanan panjang, aku tiba di sebuah rumah yang sederhana dan kecil di tempat yang cukup tenang di daerah perbukitan. Hanya membayangkan siapa penghuni di dalamnya saja sudah membuat dadaku sesak.

Langit sudah beranjak senja.

Perlahan, aku mengetuk pintunya. Tak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi.

Kriet…

Pintu terbuka. Sosok wanita setengah baya dengan mata sayunya memandangku terkejut.

“Non… Lia?” desisnya pelan. Wajahnya tampak kaget.

Aku mencoba tersenyum walau kutahu pasti terlihat kaku.

“Mbok… kacang panjangnya di oseng saja ya?” sebuah suara cempreng dari dalam rumah. Aku melongokan kepalaku mencari siapa pemilik suara tersebut. Putriku kah?

“Masuk Non,” kata Bi Nah sembari membantuku membawa koperku masuk.

“Mbookk…” suara cempreng itu terdengar lagi saat aku masuk ke dalam. “kacang panjangnya…” pemilik suara bertubuh kurus menghentikan ucapannya ketika matanya menemukan sosokku. “Ah, ada tamu…” katanya malu.

Bi Nah tersenyum lembut sembari melambai pada anak kecil berambut panjang yang berdiri tak jauh dari kami.

Aku mensejajarkan tubuhku dengan tubuh anak kecil itu ketika dia sudah berdiri di samping Bi Nah. Kupandangi wajahnya yang cerah dan memandang penuh tanya padaku. Perlahan kuulurkan tanganku dan mengelus pipi tirusnya dengan lembut.

Tanpa bisa kucegah, air mataku merebak. Ada banyak yang ingin kukatakan. Tapi yang bisa kuucap hanya, “Apa kabar?”

Anak kecil itu tak menjawab. Ia melirik ke Bi Nah. Aku memandang Bi Nah.

“Kudengar kau berdoa agar bisa bertemu dengan ibumu di mimpimu,” kataku. Anak kecil itu perlahan mengangguk.

“Juga ayah,” katanya pelan. “Mbok bilang Bunda meninggal saat melahirkan Dea. Sedang ayah sudah tidak ada ketika Dea masih di kandungan Bunda. Dea jadi tidak tahu bagaimana wajah mereka, sedangkan teman-teman di sekolah bilang wajah mereka ada yang mirip ayahnya, ada juga yang mirip ibunya. Dea ingin tahu Dea mirip siapa.”

Dadaku serasa nyeri sekali mendengarnya.

“Kalau kau ingin lihat…” kataku pelan dan tercekat.

“Tak boleh ada yang tahu kalau kau punya anak!!” pesan Mama sebelum aku melahirkan.

Aku menelan ludahku. “… wajah Bundamu,” aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “…kau bisa melihat wajahku.” Air mataku mengalir. “Aku… mirip sekali… dengan Bundamu,” kataku tergugu.

“…bagaimana bahagiannya dirimu ketika dia memanggilmu ‘mama’ untuk pertama kali…” kata-kata Marri terngiang lagi di telingaku. Membuat air mataku mengalir deras. Akankah ada saat di mana dia memanggilku ‘Bunda’?

Anak kecil itu memandangku. “Kakak kenal Bunda?”

Kakak? Hatiku menjerit sakit. Berusia 27 tahun dan dipanggil kakak oleh anakmu, tidakkah itu menyakitkan?

Kuanggukan kepalaku sebagai jawaban. “Sangat kenal,” bisikku. Perlahan ia mengulurkan tangan mungilnya, menyentuh wajahku. Senyum manisnya mengembang.

“Dengan ayah?” tanyanya.

Aku mengangguk lagi disertai lelehan air mata.

“Menurut Kakak, Dea mirip Bunda atau ayah?” tanyanya ceria.

Aku memandanginya. Wajah tirusnya, mata tajamnya, senyum cerianya, hidungnya, bibir tebalnya. “Kau… Mirip ayahmu,” jawabku pelan. Satu air mata bergulir lagi kala sosok yang menghancurkanku sebelas tahun lalu hadir tiba-tiba di benakku. Seolah tak cukup dengan itu, hatiku semakin sakit saat ia tersenyum gembira padaku.

“Benarkah? Dea mirip ayah?” pekiknya. Ia menggoyang-goyangkan tangan Bi Nah. “Mbok, Kakak bilang Dea mirip ayah,” katanya ceria.

Kenapa kau harus mirip dengannya, Putriku? aku tahu aku tak punya harta berharga lainnya sekarang kecuali kau. Tapi kenapa harus mirip dengannya?

Aku memandangi anak yang masih ceria itu dengan perasaan campur aduk.

Bi Nah berjongkok dan membelai rambutku. Seolah tahu bahwa aku tengah terguncang dengan kenyataan yang kuucapkan sendiri. Anakku mirip dengan ayahnya.

“Jika anak tak bisa mempersatukan orang tua, maka biarlah ia jadi pengobat luka, Non,” katanya lembut.

Dea, anak kecil itu memandang ke arahku dan Bi Nah dengan heran.

“Dea mau peluk Tante ini tidak?” tawar Bi Nah. Membuatku membulatkan mataku. “Anggap dia bundanya Dea. Boleh kan Non?”

Aku masih bingung. Namun sebuah tangan mungil tiba-tiba memeluk leherku.

“Hangat. Lebih hangat dari memeluk Mbok,” katanya masih sambil memelukku. “Apa karena Dea tahu kakak cantik mirip Bunda ya?” tanyanya polos.

Aku menggigit bibir bawahnya. Tanpa bisa kucegah air mataku mengalir lagi. “Coba panggil aku ‘Bunda’,” pintaku tanpa sadar.

“Bun..da…” katanya pelan.

Aku membalas pelukannya bersamaan dengan air mataku yang mengalir deras. “Maafkan aku…” bisikku. “Benar-benar maaf…” bisikku lagi sambil memeluknya erat dan membelai rambutnya. “Maaf…”

“Kenapa Tante minta maaf?” herannya sambil melepas pelukanku.

Aku menggeleng. “Tidak apa-apa.” Kuelus wajahnya dengan sayang. “Mulai hari ini, anggap aku Bundamu, ya?”

Mata tajamnya yang memandangku tadi kini membulat. Lalu ia kembali memelukku sembari berteriak, “BUNDAAAA!!!!” dengan ceria.

Aku membalas pelukannya. Sudah berapa fase perkembangannya yang kulewati? Aku tak mau melewatkannya lagi.

Kutatap Bi Nah. “Boleh aku di sini?”

Bi Nah mengangguk dengan wajah haru. “Silahkan, Non,” katanya sambil mengusap air matanya yang jatuh.

“Terima kasih, Bi,” bisikku. Terima kasih sudah membolehkanku dan sudah menjaga Dea dengan baik selama ini. Benar-benar terima kasih, Bi, lanjutku dalam hati seraya mengulurkan tanganku mengajaknya berpelukan bersama.

End

 

1 Komentar

  1. Nurazis

    Saya blom tau tentang web,cerita ini bgtu menyentuh hatiku…… ,apa non da punya pendamping sekarang hub ke nomor 081617173850

Tinggalkan komentar